Kamu, Tembok dan Hujan

Hari ini aku melihatmu...

Aku berjalan melewatimu, kamu bersama teman-temanmu.
Tak sedikitpun kamu menoleh, begitupun denganku.
Aku masuk ke dalam sebuah ruangan, dan kudengar tawamu.

"Apa kabarmu?" itu pertanyaan pertama yang terlintas di kepalaku.

Kupatut diriku di depan cermin, dan aku tersenyum.
Sudah cukup bahagiakah aku di hadapanmu?
Kudengar lagi suara tawamu bersama teman-temanmu.

"Kamu sudah bahagia..."

Kamu tahu, melihatmu lagi itu seperti menyentuh sebuah tembok yang sedang kubangun.
Rapuh.
Hancur.
Detik itu, aku disadarkan pada satu hal.
Bahwa aku masih berdiri di tempat yang sama, sedangkan kamu sudah melangkah jauh.
Yang aku lakukan hanya berdiri di tempat asalku, melihat punggung kamu berjalan menjauh,
berharap suatu hari kamu akan membalikkan badanmu lagi, tapi kamu tidak pernah berbalik.

Ada sebuah bayangan yang menutupimu, kenyataan bahwa
kamu sudah bahagia.

Bagaikan gunung, kamu adalah pendakinya. Dan aku adalah anak kampung yang menonton dari bawah, bermimpi suatu hari dapat mencapai puncak gunung, sama sepertimu.

Kamu benar, aku bodoh. Terlalu bodoh untuk mengharapkan seorang kamu berbalik.
Terlalu bodoh untuk masih berdiri di tempat yang sama ketika dunia sudah berputar lebih dari 3x365 kali.

Tapi tahukah kamu, bukan aku tidak berusaha!
Aku berusaha sekuat tenagaku, segala cara kucoba, walaupun aku harus merangkak perlahan dan tertatih-tatih, tapi aku coba pergi dari tempat asalku.
Aku berpikir bahwa aku sudah melangkah jauh, jauh berjalan dari tempat asalku.

Tapi...
Melihatmu hari itu...
Menyadarkanku, seperti tamparan keras bahwa aku masih di sana...
Bahwa tembok yang kubangun, tidak kokoh! Bahwa tembok itu masih dan selalu rapuh!
Bahwa tembok itu hanyala sebagai penutup!

Bahkan aku masih hafal suara tawamu,
aku masih hafal gayamu dan caramu berdiri.
Aku masih hafal caramu berbisik pada temanmu,
aku masih hafal caramu berjalan dan caramu makan...

Hari ini hujan. Masih ingatkah kamu bahwa aku menyukai hujan?
Karena hujan, aku  melihatmu datang dan aku melihatmu pergi...
Ini musim kemarau. Aku menangis lagi setelah sekian lama aku tidak pernah menangis karenamu.
Dan hari ini hujan setelah sekian lama tidak hujan.
Hujan pun seakan menyadariku bahwa dia masih ikut bersedih karenaku.

Kamu tahu, aku hampir menyerah! Karena aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan untuk melangkah!
Tapi kamu juga harus tahu, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu sedikitpun untuk berdiri.
Kamu harus tahu, aku tidak akan pernah berhenti mencari cara untuk pergi dan keluar dari tempat asalku, meskipun aku harus merangkak, tertatih-tatih dan terjatuh.

Sekarang, bolehkah kamu pergi? Bahkan kadang aku berharap kamu pergi selamanya dari dunia ini, biar aku tidak pernah perlu tahu lagi, sudah sekuat apa tembokku berdiri dan sudah sejauh apa aku berjalan...

Untuk kamu yang sudah bahagia di sana...
Apa kabarmu?


Comments

  1. liiii bagus banget smpe nangis..... T__________T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Michi, thank you so much for visiting.. hohoo...

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

1 year has passed

Bahagia itu relatif, Sedih itu absolut...

Untuk kamu, kalian dan mereka...