Maukah kamu menjadi dokter?

Kalau ada orang bertanya, "Nanti mau jadi dokter apa?"

Rasanya jawaban klasik yang keluar di kepala adalah, "Hehe... Belum tahu. masih lama."

Masih lama disini adalah, bahwa menjadi seorang dokter bukanlah sekedar
"Wow keren yah jadi dokter. Pasti pintar. Nerusin papa ya?"

Sungguh, kalau ada yang beranggapan menjadi dokter adalah sosok pribadi yang pintar, berjiwa besar, suka menolong, dan merasa terpanggil, gw rasa itu adalah jawaban terpolos dan tersalah.

Menjadi seorang dokter itu bukan hanya sekedar itu. Bukan kepintaran yang utama dicari disini, bukan jiwa menolong dan juga bukan merasa terpanggil. Yang benar adalah, bagaimana seorang dokter dapat membuat dirinya sendiri dipercaya, bagaimana dia bisa membuat pasiennya merasa nyaman, dan bagaimana dia bisa membentuk karakternya sesuai dengan kewajibannya.

Beberapa waktu yang lalu....

saya belajar bahwa pintar, materialistik dan koneksi memang penting, tapi bukan itu yang utama. Seorang dosen mengajarkan pada saya bahwa yang harus kami -mahasiswa kedokteran- pelajari adalah bagaimana cara membentuk karakter menjadi seorang dokter, bagaimana menumbuhkan keyakinan sehingga pasien bisa percaya dan bagaimana cara membuat pasien merasa nyaman.

Pelajaran kedokteran memang sulit. Dimana kami sekarang berada di kurikulum yang menuntut kami untuk lebih banyak belajar sendiri daripada diajarkan di kelas. Mungkin, 10 atau 20 tahun ke depan, pendidikan kedokteran sudah berubah total menjadi kurikulum belajar sendiri, sehingga semua orang, siapa saja yang mau bisa menjadi dokter asal mereka rajin belajar. Bukankah bahkan sekarang, sudah banyak pasien-pasien pintar yang bisa mengobati dirinya sendiri, mencari di internet dan sebagainya.

Tapi, karakter dan rasa percaya itu yang tidak akan bisa kita temui di belahan dunia maya manapun, selain dalam diri kita sendiri yang terjun ke dalamnya. Ah mungkin lebih tepatnya kita sebut "Pengalaman".

Bahwa sebuah karakter dan kepercayaan itu tidak dapat dibentuk dalam waktu 5 tahun pendidikan kami di fakultas kedokteran. Mungkin membutuhkan waktu belasan bahkan puluhan tahun untuk kita benar-benar belajar membentuk sebuah karakter, begitu juga kepercayaan pasien. Sekalinya melekat, mungkin selamanya akan melekat.

Tapi jangan lupa juga bahwa sifat jelek selalu dominan. Sebutlah arogansi dan egoisme.
Sudah siapkah ketika pasien mungkin suatu saat merasa lebih tahu dan lebih pintar, sudah jelas karena mereka memiliki waktu lebih banyak dari kita untuk browsing internet pengobatan-pengobatan terbaru. Sudah siapkah kita merendahkan hati dan diri kita serendah-rendahnya untuk itu dan mengaku bahwa kita belum sempat membaca penemuan terbaru itu? Kalau belum, mungkin itu yang ktia sebut arogansi.

Ketika segala kepenatan, mungkin kita gagal mengobati, pasien tidak tertolong, salah memberi obat, masalah keluarga, masalah lingkungan dan segala masalah-masalah lainnya sedang datang menimpa kita, lalu datang seorang pasien yang datang bercerita panjang lebar hanya untuk masalah sepele mereka yang menurut kita tidak ada apa-apanya dibandingkan masalah kita. Sudah siapkah kita tetap merendahkan hati dan diri untuk tetap tersenyum dan simpati? Kalau belum, mungkin itu yang kita sebut egoisme.

Pasien boleh egois dan arogan. Tapi seorang dokter tidak!!!

Saya belum menjadi dokter, sudah pasti saya belum memiliki karakter, sudah pasti belum ada yang percaya saya, juga belum ada yang merasa nyaman berobat pada saya. Tingkat arogansi dan egoisme saya juga pasti masih sangat-sangat tinggi. Karena itu saya masih harus menempuh berjuta-juta kilometer perjalanan panjang untuk itu.

Tapi ada satu pertanyaan yang selalu ada di kepala saya dari awal saya masuk kedokteran.

Maukah saya menempuh perjalanan itu? Ya benar! Pertanyaannya bukan sanggup atau tidak. Tapi mau atau tidak!

Dan detik ini. Di tahun keempat saya di fakultas kedokteran, saya masih belum bisa menjawabnya.

Comments

Popular posts from this blog

1 year has passed

Bahagia itu relatif, Sedih itu absolut...

Untuk kamu, kalian dan mereka...